Jumat, 12 Juni 2015







TUGAS PARASITOLOGI 
FAMILI TABANIDAE


DISUSUN OLEH
DELIMA ANJELNIA
PO.71.34.0.14.008
TINGKAT 1 SEMESTER II
TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK




BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lalat famili Tabanidae tergolong dalam kelompok besar yang terdiri dari genus pemakan sari tumbuhan antara lain seperti Pangonia dan Scaptia serta genus pemakan darah terutama Chrysops, Tabanus, dan Haematopota. Lalat famili Tabanidae termasuk dalam ordo Diptera telah dikenal sebagai vektor yang potensial bagi agen penyakit surra. Di dunia telah dilaporkan terdapat sekitar 4,300 spesies lalat. Sedangkan di Indonesia pernah dilaporkan terdapat 28 spesies dari genus Tabanus, 3 spesies dari genus Chrysops, dan 5 dari genus Haematopota yang bertindak sebagai vektor penyakit surra. Ketiga genus tersebut, hanya lalat betina yang makan darah secara berulang dalam  hidupnya.
Seperti lalat lainnya, siklus hidup dari telur menjadi dewasa melalui proses metamorphosis sempurna, dengan melalui tahap perkembangan larva dan pupa sebelum menjadi dewasa.
Lalat-lalat famili Tabanidae bersifat sebagai vektor mekanik yang hanya berfungsi memindahkan agen penyakit (T. evansi) dari satu hewan ke hewan yang lain tanpa adanya perubahan sifat dan bentuk agen dalam tubuh lalat. Penularan dilakukan secara inokulasi memasukan agen penyakit ke dalam tubuh hewan melalui proses penggigitan pada waktu menghisap darah.
KASUS PENYAKIT SURRA TERKINI
Sekitar Maret 2014, di Provinsi Banten ditemukan kasus penyakit Surra yang mengakibatkan kematian puluhan kerbau lokal maupun kerbau bantuan pemerintah. Hasil analisis PCR terhadap vektor lalat penghisap darah (haematophagous flies), menunjukkan hasil positif yang mengindikasikan ancaman penyebaran wabah Surra.  Menteri Pertanian kembali menetapkan Surra sebagai salah satu Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor4026/Kpts./OT.140/04/2013.

Kejadian Surra di wilayah Banten terdeteksi pertama kali pada bulan Mei 2013, yakni di Desa Pagelaran, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Pandeglang. Surra juga merebak di Desa Calung Bungur, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak. Pada September 2013, terjadi di Desa Bojong Leles, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak.

November 2013, kasus Surra di Kabupaten Pandeglang menyebar semakin merambah ke beberapa desa diantaranya Jiput, Pagelaran, Menes, dan Cimanuk. Di Kota Serang, Surra menuju Desa Curug Manis, Kecamatan Curug, kemudian Desa Terondol, Kecamatan Serang, dan Desa Pageragung, Kecamatan Walantaka. Sementara pada Maret-April 2014, kasus Surra terjadi di Desa Pagelaran, Desa Abuan, Mones, Kabupaten Pandeglang

Drh Putut Eko Wibowo selaku Kepala Seksi Informasi Veteriner, Balai Veteriner Subang mengemukakan Provinsi Banten sebagai salah satu lumbung ternak kerbau nasional  masih memiliki masalah dengan kasus penyebaran  Trypanosoma sp. Putut yang dijumpai  keberadaan Taman Nasional Ujung Kulon di Propinsi Banten harus terus dilindungi dari bahaya infestasi penyakit Trypanosoma pada badak bercula satu yang ada didalamnya.
Keberadaan obat-obatan seperti Tryponil dan Trypamedium untuk penanggulangan Surra harus terus diamati efikasinya terhadap penanggulangan Trypanosoma. Insektisida yang aman dan ramah lingkungan sangat diperlukan dalam menanggulangi vektor yang ada. Pengaturan lalu lintas ternak antar kabupaten harus terus terpantau melalui peningkatan peran dokter hewan, terutama dalam merekomendasikan SKKH untuk ternak yang akan ditransportasikan.

Penyakit Surra terkait erat dengan lalu-lintas ternak, baik nasional maupun internasional. Kejadian Surra di Pulau Sumba pada tahun 2010 disebabkan masuknya ternak yang terinfeksi T.Evansi ke wilayah tersebut. Dalam waktu relatif cepat, ribuan ternak mati sampai diumumkan sebagai kejadian luar biasa (KLB).

Pulau Sumba memiliki sumber daya genetik asli (plasma nutfah) yaitu Sapi Sumba Ongola (SO) dan Kuda Sandel Wood. Oleh karena itu, diperlukan keseriusan semua pihak  untuk menyelamatkan dan melestarikan ternak tersebut.

Drh Manuel Agustinus Kitu, Kepala Bidang Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur mengatakan mahalnya obat Surra dan patogenitas yang tinggi, serta banyak hewan menjadi reservoir, ditambah sulitnya pembentasan vektor menjadi  hal utama yang dikeluhan peternak. Secara nilai ekonomi, kerugian yang diakibatkan Surra pun mencapai ratusan miliar rupiah.

“Stok obat harus selalu ada, jangan sampai tersendat. Kalau kita kekurangan obat, Surra bisa semakin merajalela,” tanda Manuel kepada Infovet, Kamis (17/4) di Jakarta. Manuel menambahkan setiap tahunnya Direktorat Kesehatan Hewan memasok 6000 bungkus/dosis obat Surra baik itu Tryponil maupun Trypamedium.

Mengingat penyakit Surra bersifat immunosupresif, maka dlakukan pola pengobatan massal. “Pemberian Trypamedium setiap tiga atau empat sekali setahun, agar dapat menstimulasi munculnya respon antibody terhadap vaksinasi penyakit lainnya. Kami lanjutkan dengan pengobatan Tryponil pada ternak yang menunjukkan gejala klinis dan hasil diagnosa laboratorium, positif Surra,” jelas Manuel.

Pengendalian penyakit Surra, tidak semata-mata hanya untuk mencegah kerugian ekonomi, dampak negatif pada aspek sosial ekonomi rakyat, tetapi juga untuk mencegah kepunahan sumberd aya genetik ternak unggul nasional, termasuk satwa liar yang dilindungi Surra mungkin belum mampu diberantas seluruhnya. Operasionalisasi dalam pengendalian penyakit Surra di lapangan masih terhambat oleh beberapa hal seperti koordinasi, pengawasan lalulintas ternak, keterbatasan anggaran, kapasitas laboratorium veteriner, partisipasi masyarakat. Pengendalian Surra yang efektif, disamping dukungan hasil-hasil penelitian juga perlu dilakukan koordinasi dan sinergi lintas sektoral. (nunung)


.
BAB II
KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI

2.1 Klasifikasi Tabanidae

Taksonomi Tabanidae
Kingdom : Animalia (Hewan)
Filum : Arthropoda (Arthropoda)
Kelas : Insecta (Serangga)
Ordo : Diptera (Lalat)
Familia : Tabanidae (kuda dan rusa Lalat)
Genus : Tabanus, Chrysops
Spesies :
Chrysops relictus C. furcatus
C. cincticornis
C. aestuans
C. excitans
C. frigida

Tabanus bovinus
Tabanus abactor
Tabanus mularis
Tabanus trimaculatus
Tabanus-stygius
Tabanus subsimilis
Tabanus sulcifrons


2.2. Morfologi Tabanidae
Lalat famili Tabanidae termasuk dalam kelompok besar yang terdiri dari genus-genus pernakan sari tumbuhan dan genus-genus pemakan darah, antara lain Chrysoos (lalat tegopati ,lalat tohpati atau lalat krisop), Tabanus ( lalat piteuk, lalat petak atau lalat pitak) dan Haematopoa. Lalat ini dikenal sebagai lalat yang besar dengan panjang 5 - 25 mm, tegap dan bentangan sayap mencapai 6,5 cm. Mengalami metamorfosa sernpurna dari telur , larva, pupa sampai dewasa dalarn waktu beberapa bulan sarnpai tahun tergantung spesies dan suhu sekitar. Masa pradewasa terutama dihabiskan pada tempat-tempat yang bersifat akuatik atau semiakuatik, seperti persawahan, rawa-rawa, lumpur atau kolam air tawar dan payau. Lalat dewasa aktif pada siang hari dan hanya yang betina yang menghisap darah dan bersifat anotogeni.






       
Chrysops sp                  Tabanus sp
(DEER FLY)                      (HORSE FLY)

A. Genus CHRYSOPS   (DEER FLY)
 PENYEBARAN : Kosmopolit di Amerika
 MORFOLOGI :
   1. Warna mengkilat
   2. Antena langsing
   3. Mata berwarna terang
   4. Abdomen garis-garis kuning dan garis gelap
   5. Sayap: - terang dengan satu pita gelap sepanjang pinggir anterior
                    - Vena 3,4 dan 5 membentuk cabang huruf V

 
Chrysops relictus C. furcatus C. cincticornis
 
C. aestuans C. excitans C. frigida
SIKLUS HIDUP : Metamorfosis Sempurna

-TELUR
- 200-300 butir
- Bentuk kumparan panjang
- Berkelompok pada tumbuh-tumbuhan, batu karang

LARVA
- Mengalami 7x Ecdysis
PUPA
DEWASA
- Daerah tropik → 4 bulan
- Daerah dingin→ sampai 2 tahun


DAUR HIDUP
Chrysops sp
     



PATOGENITAS : ♀ mengisap darah
I.    Gigitan → mula-mula tidak nyeri → iritasi hebat → bengkak
II.   Vektor Penyakit :
      1.    TULAREMIA → Chrysops discalis
      2.    LOAIASIS → Chrysops dimidiata + Chrysops silacea

PENGOBATAN : Lotion yang meringankan rasa bila kena gigitan
PEMBERANTASAN :
1. Tidak memuaskan
2. Penyemprotan di rumah-rumah dengan DDT
3. Perlindungan perorangan dengan repellent

B. Genus TABANUS  (HORSE FLY)
PENYEBARAN  : Kosmopolit
MORFOLOGI :
1. Mirip dengan Chrysops tapi lebih besar
2. Antena lebih pendek daripada kepala
3. Sayap sama dengan Chrysops

Ukuran 6 - 30 mm
 bentangan dua sayap
o 6,5 cm
 warna coklat gelap
 abdomen & thorax
o bergaris warna
o kontras
 kepala semilunar
 mata :
o betina    dikoptik
o jantan   holoptik
antena pendek,tipe
o annulata

Betina (Dikoptik) Jantan (Holoptik)








 




SIKLUS HIDUP :
Metamorfosis Sempurna (Umur → 4 bulan-2 tahun)
TELUR → bentuk oval memanjang spt cerutu uk.1-2,5mm warna putih krem, kelabu atau kehitaman,Lalat betina memproduksi telur antara 100 – 1000  diletakkan di bawah dedaunan, rerumputan, cabang-cabang kecil dan bebatuan,bersifat tahan air karena ditutup oleh zat seperti lem. Telur menetas larva dalam waktu 4 – 14 hari
LARVA → berbentuk silindris dengan ke 2 ujungnya lancip; warnanya putih krem, coklat atau hijau; kepala sangat kecil berwarna hitam dan dapat masuk kedalam thoraks; abdomen terdiri atas 11 segmen. Larva hidup di tempat yang lembab seperti tanah humus, tanah liat, tepi mata air, kubangan dan di aliran sungai yang lambat. Larva dalam waktu  1 – 3 tahun berkembang menjadi pupa
· Pupa hidup di tempat yang kering dengan ukuran panjang antara 7 – 40 mm warna coklat, kepala menyatu dengan thoraks, abdomen terdiri atas 8 segmen. Pupa berkembang menjadi lalat dewasa dalam waktu 5 – 20 hari.
· Lalat dewasa hidup di daerah perkayuan dan hutan, mempunyai jarak terbang sampai beberapa kilometer. Lalat betina aktif pada siang hari dan lebih tertarik pada warna gelap. Manusia yang berkulit hitam lebih sering digigit daripada yang berkulit putih.

· Pupa hidup di tempat yang kering dengan ukuran panjang antara 7 – 40 mm warna coklat, kepala menyatu dengan thoraks, abdomen terdiri atas 8 segmen. Pupa berkembang menjadi lalat dewasa dalam waktu 5 – 20 hari.
· Lalat dewasa hidup di daerah perkayuan dan hutan, mempunyai jarak terbang sampai beberapa kilometer. Lalat betina aktif pada siang hari dan lebih tertarik pada warna gelap. Manusia yang berkulit hitam lebih sering digigit daripada yang berkulit putih.

BAB III
PEMBAHASAN 

3.1 Penyakit dan Peran Medis
Membicarakan epidemiologi suatu penyakit maka tidak akan lepas dari tiga faktor yang saling terkait yaitu hospes (host), penyebab penyakit (agent), dan lingkungan (environment). Tripanosomosis atau yang juga dikenal sebagai penyakit “SURRA” disebabkan agen parasit Trypanosoma evansi.
Penyakit ini dianggap berasal dari Afrika dan menyebar luas hampir di seluruh dunia. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Evans pada tahun 1880 di India, sedangkan di Indonesia pertama kali dikenal oleh Penning pada tahun 1897 pada seekor kuda di Semarang. Terutama menyerang hospes kuda, kerbau, sapi, dan unta, walaupun hewan terdomestikasi lain dan hewan liar juga dapat terserang Ditandai dengan gejala kelemahan, anemia dan ikterus, udema di bagian bawah tubuh, pengeluaran cairan mukus sampai purulen dari hidung dan mata serta gejala-gejala syaraf pada yang kronis.
Penyebaran agen penyakit melibatkan mediator vektor antara lain serangga. Karena agen penyakit ini hanya dapat dipindahkan secara langsung (direct transmission) dan memiliki ketahanan hidup yang kecil di luar tubuh hospes, maka serangga menjadi vektor utama dalam penyebaran penyakit. Serangga sebagai vektor mekanik penyakit surra di Indonesia menyimpulkan bahwa seluruh lalat penggigit dan penghisap darah famili Tabanidae merupakan vektor yang lebih baik dibandingkan dengan nyamuk atau lalat penggigit famili Muscidae seperti Stomoxys sp.
Pengobatan penyakit surra belum ada vaksin yang diproduksi untuk mencegah penyakit Surra. Obat Surra yang pernah diuji, beredar dan dipakai untuk pengobatan Surra di Indonesia yaitu Tryponil (diminazene diaceturat), atau quinapyramin sulfate Sedangkan untuk pencegahan dapat digunakan isometamidium.

3.2. Pemeriksaan Laboratorium
Tes diagnosa merupakan hal yang sangat penting untuk mendeteksi suatu penyakit. Pada level populasi (herd level) memberikan indikasi dalam menentukan frekuensi kejadian penyakit; dan pada level individu, selain dipakai sebagai langkah awal sebelum memberikan pengobatan pada ternak, juga untuk mengkaji efikasi suatu terapi. Dalam mendeteksi penyakit Surra (Trypanosomiasis) biasa digunakan tes diagnostik secara parasitologi seperti
ulas darah,
Microhematokrit Centrifugation Technique (MHCT)
inokulasi pada hewan percobaan pada mencit - Mice Innoculation (MI).
secara serologi yakni dengan metoda Card Agglutination Test (CATT),
 Antibodi-ELISA dan Antigen-ELISA.

Teknik immunohistokimia dengan Avidin-BiotinPeroksidase Complex (ABC) telah dicoba untuk mendeteksi T.evansi yang ada di dalam jaringan; pada tikus, parasit dapat dideteksi di hampir semua organ, sedang pemeriksaan yang sama pada kerbau ternyata tidak mendapatkan hasil (DAMAYANTI, 1993).
Saat ini diagnosa secara biology moleculer seperti Polymerase Change Reaction Technique (PCR) sedang dikembangkan. Pada kondisi laboratorium, tes diagnostik secara ELISA dan CATT dapat mendeteksi antibodi atau antigen Trypanosoma segera setelah infeksi (LUCKIN, 1999).
HMCT cukup sensitif untuk deteksi infeksi dini, AbELISA mendeteksi adanya antibodi mulai minggu ke-2 pasca infeksi, sedang Ag-ELISA memberi harapan paling sensitif mendeteksi sel mati dari parasit (ANONIM 1991/1992).
Sementara CATT, adalah uji aglutinasi langsung, untuk mendeteksi adanya antibodi T.evansi dalam serum atau plasma hewan penderita (SOLIHAT et al., 1996). Uji ini sudah standar dan bagus digunakan untuk mendiagnosa kerbau, sapi dan kuda (SONGA et al., 1987). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa uji aglutinasi terhadap T.evansi memiliki angka sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, sehingga CATT bagus untuk digunakan di lapangan.
Dengan demikian, Ab-ELISA baik dipakai untuk skrening awal sejumlah sampel sehingga ternak yang beresiko dapat diidentifikasi dan CATT untuk mengkonfirmasi hasil evaluasi agar lebih akurat.
DAVISON et al. (1996) telah mengevaluasi Ag-ELISA terhadap T.evansi, hasil menunjukkan bahwa Ag-ELISA mempunyai sensitivitas yang tinggi dibanding dengan MHCT atau MI. Meskipun demikian, MI ternyata lebih sensitif dibanding dengan MHCT tetapi uji ini tidak praktis digunakan di lapangan.

KESIMPULAN
Lalat-lalat famili Tabanidae bersifat sebagai vektor mekanik yang hanya berfungsi memindahkan agen penyakit (T. evansi) dari satu hewan ke hewan yang lain tanpa adanya perubahan sifat dan bentuk agen dalam tubuh lalat.
Dalam mendeteksi penyakit Surra (Trypanosomiasis) biasa digunakan tes diagnostik secara parasitologi seperti ulas darah, Microhematokrit Centrifugation Technique (MHCT) .inokulasi pada hewan percobaan pada mencit - Mice Innoculation (MI). secara serologi yakni dengan metoda Card Agglutination Test (CATT),Antibodi-ELISA dan Antigen-ELISA.

DAFTAR PUSTAKA
http://bvetlampung.com/mengenal-peran-lalat-tabanidae/
http://www.itd.unair.ac.id/files/pdf/protocol1/Famili%20Tabanidae.pdf
keswan.ditjennak.pertanian.go.id/index.../mengenal-peran-lalat-tabanid
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/40250
Bahan Ajar mata kuliah parasitologi
http://www.pemalangkab.go.id/dipertanhut/?page_id=20
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/fullteks/lokakarya/lkbo06-13.pdf?secure=1
http://www.majalahinfovet.com/2014/05/kasus-penyakit-surra-terkini.html
http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/7103




Tidak ada komentar:

Posting Komentar